HUTAN GUNDUL ITU BERNAMA REGISTER 38 GUNUNG BALAK.

Tak sedikit yang mengaku, kawasan lebih dari 21 ribu hektar tersebut adalah lahan milik mereka lewat transaksi “jual beli” bawah tangan. Sehingga negara atau pemerintah tak punya hak lagi untuk “mengusir” mereka yang kini jumlahnya mencapai belasan ribu jiwa.
Kawasan hutan lindung yang sempat dihutankan kembali pada 1984 silam, kini hutan tersebut tak lebih mirip “lapangan” terbuka yang telah berubah fungsi menjadi areal tanaman pertanian dan perkebunan. Lebih parah lagi, warga atau petani tak segan atau takut membangun rumah mewah bernilai ratusan hingga miliaran. Mereka “sepakat” menganggap puluhan ribu hektar lahan milik negara itu, kini adalah milik mereka.
Dan lebih parah lagi, berbagai infrastruktur seperti jalan, jaringan listrik serta fasilitas lain dibangun di atas kawasan terlarang tersebut.Adalah Hasanuddin, pegiat lingkungan mengaku prihatin atas kawasan hutan milik negara itu yang kini dikuasai ribuan warga atau petani yang tak segan-segan menggarap atau menguasai lahan tersebut.
Selain bercocok tanam, merekapun membangun rumah permanen atau rumah mewah bernilai ratusan bahkan miliaran.”Jika fakta ini bohong, silakan pemerintah melihat langsung bagaimana nasib Hutan Lindung Register 38 Gunung Balak sejak Reformasi 1998 silam,” ujar Hasanuddin beberapa waktu lalu.Menurut dia, fungsi utama kawasan hutan lindung tersebut adalah sebagai resapan air yang mengalir ke Danau Way Jepara. Jutaan meter kubik air yang tersimpan pada waduk itu lalu berfungsi untuk mengairi enam ribu hektar lebih sawah petani di Kecamatan Way Jepara, Labuhan Ratu dan Braja Selebah.
Dan ketika kawasan hutan masih terpelihara dengan baik, petani mampu panen dua kali dalam setahun. Tapi, setelah kawasan hutan porak poranda, petani tiga kecamatan tersebut hanya dapat menikmati padi mereka satu kali dalam setahun. Bahkan, akibat terbatasnya air, petani pun harus bergantian.”Kerusakan Hutan Registet 38 Gunung Balak sudah sangat parah.
Negara atau pemerintah sama sekali tak pernah hadir,”tegas Hasanuddin.Menurut dia, untuk “mengusir” atau menghijaukan kembali puluhan ribu hektar hutan tersebut, merupakan hal yang sulit dilakukan. Sebab, warga atau petani saat ini jumlahnya belasan atau puluhan ribu jiwa.apalagi saat ini selain menggarap lahan, tak sedikit warga yang telah menetap atau membangun rumah di atas lahan tersebut. Oleh sebab itu, guna menjaga hutan tersebut tetap terpelihara dengan baik atau kawasan sebagai tesapan air, pemerintah hendaknya membina petani atau melahirkan program kehutanan yang bermanfaat”Apakah kami yang tidak tahu informasi.
Tapi sejak hutan dirusak, program pemerintah atau negara hanya isapan jempol belaka,”ujar pria itu Sementara itu, Miswantori, petugas kehutanan Dinas Kehutanan Provinsi Lampung tak mempungkiri jika kawassn hutan lindung itu kini telah beribah fungsi jadi lahan pertanian dan perkebunan warga. Perambahan yang terjadi sejak 25 tahun silam itu, tak berarti negara atau pemerintah tak melakukan sosialisasi kepada warga atau petani.
Namun, meski warga telah mengetahui sanksi hukum atas perambahan tersebut, namun hingga saat ini kawasan register tetap dimanfaatkan warga sebagai lahan pertanian dan perkebunan.”Guna menjaga pelestarian hutan, pemerintah selalu ada program yakni Hutan Kemasyararan (HKm). Warga atau petani wajib menanam jenis tanaman hutan,”ujar Miswantori.(Wis 389 Her).